Cerpen Motivasi



Senja di Ujung Desa
(W. J. Laksono)

Ketika sang surya telah menampakkan sinarnya, aku berangkat sekolah dengan diiringi dinginnya udara yang membalut sekujur tubuhku. Pagi itu, seperti biasa setelah bel masuk SMU Pasti Bisa berbunyi sebelum pelajaran, Pak Rahman guru matematika kelas XII kami, selalu memberikan kami motivasi. “Ingat, kalian masih muda, masih banyak yang dapat kalian raih, kalian capai. Mentari masih bersinar, buatlah mimpi kalian setinggi mungkin, dan berusahalah untuk mewujudkannya.” Pak Rahman selalu tegas dalam mengajar. Kami pun harus ekstra kosentrasi saat menerima pelajaran dari Mr. Discipline. Banyak dari kami yang sering disuruh keluar kelas, karena melanggar peraturan yang dibuat beliau.
Bel pulang sekolah berbunyi. Saatnya bagi kami untuk pulang ke rumah. Tapi sebelum pulang, aku selalu menyempatkan diri untuk bermain bersama teman-temanku. Siang itu, cuaca sangat panas. Kami pun berteduh dan tidur-tiduran di bawah pohon. “Kamu kalau lulus mau bagaimana, Kamal?” Tanya Azrul kepadaku. “Belum tau, mungkin akan ikut abah di ladang.”Jawabku kebingungan. Setelah beberapa jam, kami pulang ke rumah masing-masing.
Ketika aku pulang ke rumah, abah dan emak belum sampai rumah. Mereka masih berada di ladang. Aku pun menyiapkan makan malam untuk mereka. Pada saat makan malam, abah berkata “Kamal, sebentar lagi kamu kan ujian, setelah kamu lulus, rencanamu apa?”. Lagi-lagi pertanyaan itu masuk ke dalam telingaku dan merambat ke pikiranku.
Sebelum tidur, aku teringat kembali oleh pertanyaan abah tadi. Seakan pertanyaan itu terus hadir dan menganggu pikiranku yang sudah ingin beristirahat, melepas penat selama satu hari tadi.
***
            Pagi harinya, ketika aku mendapat pelajaran dari Pak Rahman di sekolah, beliau kembali memotivasi kami. Pak Rahman secara bergantian bertanya kepada kami satu per satu. Pertanyaanya sama, yaitu tujuan setelah lulus nanti. Tibalah giliranku untuk menjawab pertanyaan dari Pak Rahman. “Kamal, kamu nanti mau melanjutkan kemana? Mau kuliah, atau langsung bekerja? Atau mau merantau?” tanya Pak Rahman. “Belum tau, Pak. Tapi InsyaAllah saya ingin merantau ke kota.” Jawabku.
            “Merantau ke kota? Apa kamu yakin? Teman-teman kamu saja pada tidak berani ke kota. Kamu punya modal apa? Lagian, jaman sekarang ini banyak yang gagal ketika merantau.” Kata Pak Rahman. “Tapi kata Bapak kita harus selalu berusaha. Kita kan masih muda, Pak.” Tambahku.
            “Memang begitu, Mal. Tapi kamu harus pertimbangkan lagi masak-masak sebelum kamu putuskan. Tapi kalau kamu sudah yakin, jalani dan berusaha, dan jangan lupa berdoa juga.” Saran Pak Rahman. “Iya Pak, terimakasih.” Jawabku.
            Setelah pulang sekolah, seperti biasa aku bersama dengan teman-temanku mampir di tempat kesukaan kami, di bawah pohon yang rindang dengan merasakan hembusan angin sepoi-sepoi untuk melepas penat kami selepas belajar di sekolah. Aku pun memandang luas ke arah desa kami. Ladang, sawah, perkebunan, dan rumah-rumah seakan menjadi satu komponen utama penyusun desa kami, Desa Senjabaru
            “Kira-kira kalau kamu nanti akan merantau, kamu akan rindu dengan tempat kita ini, ngga Mal?” tanya Firman.
            “Aduh gimana, ya? Pastinya aku akan sangat rindu.” Jawabku.
            “Lha kalau kamu akan rindu kenapa kamu ingin merantau?”
            “Aku ingin merantau karena aku ingin mencoba sukses di kota.”
            “Iya kalau kamu sukses, kalau gagal?” tambah Azrul.
            “Ya aku kan berusaha.” Jawabku lagi.
            Waktu menjelang sore, kami pun segera pulang ke rumah masing-masing untuk membantu pekerjaan orang tua kami di rumah.
***
            Beberapa bulan kemudian, Ujian Nasional pun dimulai. Aku dan teman-temanku berusaha mati-matian untuk dapat lulus ujian. Meskipun aku belum tau setelah lulus nanti aku mau kemana, tapi yang terpenting aku harus lulus dulu. Setelah Ujian Nasional berakhir, aku dan teman-temanku pun mengisi waktu luang setelah ujian dengan ikut bekerja di ladang dan perkebunan membantu orang tua kami sambil menunggu hasil UN.
            “Bagaimana, Mal? Apa kamu sudah ada gambaran kalau lulus mau ngapain?” tanya emak.
            “Belum, Mak. Aku masih bingung.”
            “Kalau kamu diterima di Perguruan Tinggi, kamu mau kuliah?”
            “Tidak tau. Memang ada biaya untuk aku kuliah?”
            “Ya kalau kamu memang berkeinginan, abah dan emak akan usahakan.”
            “Ah, tapi aku tidak mau merepotkan abah sama emak.”
            “Tidak apa-apa, Mal. Abahmu pasti juga akan mendukungmu.”
            “Tapi kan aku belum tentu diterima di Perguruan Tinggi.”
            “Siapa tahu nanti kamu dapat diterima. Lagian, nilai-nilai kamu kan lumayan bagus.”
            “Ya sudah, Mak. Kita lihat saja besok bagaimana hasilnya.”
            Ketika matahari mulai bersembunyi di sebelah barat gunung, kami pun pulang ke rumah. Seperti biasa, aku membantu emak menyiapkan makan malam.
***
            Beberapa Minggu kemudian, tibalah saatnya pengumuman hasil ujian. Emak yang hadir di sekolah terlihat begitu tegang seakan tak sabar mengetahui apakah aku lulus atau tidak. Beberapa siswa telah mengetahui hasil pengumumannya secara berurutan. Dan tibalah giliran emak untuk mengambil amplop yang berisi pengumuman apakah aku lulus atau tidak. Setelah emak membukanya, mimik muka yang tadinya tegang berubah menjadi bahagia bagaikan mendapat durian runtuh yang ternyata hasil ujianku adalah lulus dengan nilai yang cukup baik. Emak pun langsung memelukku dan mengusap rambutku yang sejak pagi telah aku sisir dengan serapi dan seklimis mungkin.
            “Alhamdulillahirobbil’alamin, Mal… Kamu lulus.” Ucap emak dengan tetesan air mata yang perlahan membasahi kedua pipinya.”
            “Iya, mak. Ini berkat doa dari Emak selama ini.”
            “Ini usahamu, Mal. Kalau kamu tidak usaha selama ini, kamu tidak akan seperti ini.”
            “Terimakasih, Mak.”
            Aku dan emak pun pulang ke rumah kami dengan berjalan kaki menyusuri desa melewati ladang dan pematang-pematang sawah. Tiba di rumah, kami pun disambut oleh abah yang terlihat penasaran ingin segera mengetahui hasilnya. Emak pun memberikan amplop itu kepada abah. Abah pun membuka dan membacanya. Terlihat di wajah abah senyuman yang menggambarkan kepuasan karena kelulusanku.
            “Selamat ya nak. Kamu memang pandai.” Ucap abah.
            “Iya, Bah. Terimakasih. Ini juga karena doa abah dan emak.”
            “Terus bagaimana rencanamu?”
            “Rencana apa, Bah?”
            “Kamu mau bekerja, atau kuliah. Atau mau merantau ke kota?”
            “Belum tau, Bah. Mungkin aku akan merantau saja.”
            “Kamu sudah yakin akan merantau?”
            “Belum sepenuhnya, Bah.”
            “Kamu tidak ingin kuliah?”
            “Ah, orang desa seperti kita mau kuliah? Terus bagaimana dengan biayanya?”
            “Soal itu nanti abah yang pikirkan. Yang penting kamu bisa sukses.”
            “Kan aku belum tahu apakah diterima di Perguruan Tinggi atau tidak?”
            “Ya mudah-mudahan kamu diterima.”
            “Sejak dulu, jarang orang desaku bisa kuliah. Malah hampir tidak ada. Terakhir yang kuliah adalah anak dari seorang Camat yang kebetulan orang desaku. Itupun sudah lama. Aku tidak yakin aku bisa kuliah.” Pikirku dalam hati.
***
Beberapa hari kemudian, aku mendapat kabar dari sekolah bahwa aku diterima di Perguruan Tinggi. Kebetulan aku diterima di fakultas pertanian. Kalau dipikir, ini adalah sebuah kebetulan atau memang sudah takdir, karena aku lahir dan besar di desa yang mayoritas penduduknya adalah petani, dan aku diterima di fakultas pertanian.
            Sore itu, aku keluar dari rumah dan menuju ke tempat biasa aku dan teman-temanku bermain sepulang sekolah. Di ujung desa ini, di pinggir ladang dan perkebunan, di bawah pohon yang rindang, sambil menikmati indahnya suasana ketika sang surya perlahan tenggelam di ufuk barat. Keindahan lembayung yang menarik pandangan mataku tak seindah suasana hatiku yang sedang gundah. Di saat aku termenung, tiba-tiba sebuah sentuhan yang cukup lembut mampir di pudakku sebelah kanan, dan terdengar suara Pak Rahman menyapaku.
            “Kamal, sedang apa kamu disini?”
            “Oh, Bapak. Saya sedang menikmati indahnya sunset, Pak.”
            “Jangan berbohong. Saya tahu kamu sedang ada masalah. Terlihat dari raut wajahmu, Mal.”
            “Jadi begini, Pak. Saya bingung apakah saya akan merantau dan bekerja di kota, atau akan kuliah. Kebetulan kan saya diterima di fakultas pertanian IPB, Pak.”
            “Hmm, jadi begitu. Kalau saran saya, lebih baik kamu memilih kuliah saja.”
            “Tapi bagaimana dengan biayanya, Pak? Saya tidak yakin orang tua saya bisa membiayai saya.”
            “Kamu kan pandai. Kamu bisa cari beasiswa.”
            “Tapi itukan sulit, Pak.”
            “Makanya, kamu harus berusaha. Daripada kamu merantau yang kamu belum tahu arahnya mau kemana, lebih baik kamu kuliah, kamu bisa sukses, kalau kamu benar-benar berusaha dan berdoa.”
            “Tapi saya benar-benar bingung sekarang, pak.”
            “Sekarang kamu coba pandang ladang di sana. Kebun, sawah dan seluruh desa ini. Desa kita ini adalah desa pertanian. Kamu bisa membuat desa ini menjadi desa yang maju dengan kamu bisa sukses menjadi seorang ahli pertanian.”
            Aku pun kembali memikirkannya. “Lihatlah mentari itu, disaat ia akan tenggelam pun, ia masih menampakkan keindahannya untuk dunia yang disinarinya. Apalagi kamu masih muda. Kamu bisa bersinar lebih terang lagi dari yang lain dan membangun desa ini, bahkan negara ini.” Tambah Pak Rahman.
“Iya, aku akan berusaha. Aku akan kuliah dan berusaha untuk sukses dan dapat membangun desa ini, bahkan negara ini.” Pikirku dalam hati yang disertai tekadku yang sudah bulat. Dan tanpa kusadari, Pak Rahman telah berjalan meninggalkanku dengan menuntun sepeda antiknya.
~*~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar