Cerpen Singkat Tema Reformasi


Ampera
(W. J. Laksono)


            Suasana kalut masih terasa di tempat ini. Di sini, tempat dimana semua orang mencari keindahan dan ketenangan lahir batinnya. Desir debu di sepanjang jalanan ini melukiskan berondong peluru yang menembus kulit pemuda kala itu. Tubuh yang berjiwa besar itu roboh karena tak kuasa menampung timah panas dalam tubuhnya.
            Dia adalah temanku. Teman yang sangat baik dan sangat cerdas akan segala keadaan. Bahkan segala yang dia pahami aku belum tentu mengerti. Ketika ibuku sakit pun, dia tanggap akan keadaan ini. Padahal aku saja kurang mengerti mengenai penyakit yang diderita ibuku. Dia seperti penulis naskah drama yang aku perankan. Aku merasa selalu di bawah pengaruhnya. Tapi aku nyaman dan merasa aman karena dia hebat bagiku.
            Kriiiinngg… Telepon kamarku berdering. Suaranya menggema di sudut-sudut dinding kamar. Aku yakin ini telepon dari temanku itu. Temanku yang paling baik dan penuh vitalitas. Tanpa berpikir panjang, aku segera mengangkat telepon sebelum aku kehilangan pesan darinya.
            “Dit, sekarang ibumu sedang sakit,” katanya.
            “Kau tahu dari mana?” tanyaku heran.
            “Aku merasakannya, Dit. Kau tahu? Ibumu sudah seperti ibuku sendiri. Karena kita sudah lama hidup bersama di sini. Harusnya kau juga merasakan hal itu,” jelasnya.
            “Kalau begitu, kau tahu penyakit ibuku?”
            “Tentu. Ibumu yang juga ibuku itu sakit karena sering menangis memikirkanmu. Dia khawatir dengan masa depanmu.”
***

            Aku yang kurang paham dengan keadaan yang kualami saat ini pun hanya bisa mengangguk mempercayainya. Kalaupun aku tahu obat yang mujarab untuk kesembuhan ibuku itu, aku pasti akan membelinya berapapun harganya. Meski aku harus berpuasa selama tiga dekade.
            Kesibukan yang menyelimuti para orang tua tak terkecuali ayahku mampu mengalahkan segalanya. Ketika harta mampu menggantikan peran hati dan cinta. Jika dilogika, memang dengan uang kita bisa merasakan kesenangan karena kita dapat membeli apapun yang kita inginkan. Namun realitanya, karena uang ibuku menderita sakit keras. Dan bagiku itu adalah sesuatu yang sangat menyiksaku. Aku ingin suatu saat nanti aku pulang ke pangkuan ibu disambut dengan senyuman bukan dengan kemarahan ibu karena sakit yang tak kunjung sembuh.
            Aku pun pergi ke taman untuk menemui temanku itu dan ingin menceritakan semua yang aku rasakan saat ini kepadanya. Tapi sekarang, saat aku mendatanginya dia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Bahkan ketika aku berbicara panjang lebar di depannya, dia malah tertidur pulas. Dia seakan tak ingin mengetahui lagi segalanya dan memilih untuk bahagia dengan dunianya saat ini.
            Aku teringat saat dia dulu sering mengajakku untuk berolahraga setiap pagi. Dia selalu menunjukkan semangatnya kepadaku. Dia selalu merangkul banyak teman untuk maju bersamanya. Aku adalah salah satu teman yang sangat dekat dan paling memahami dia. Dia sudah seperti saudara seibu denganku. Dia pun tahu obat untuk kesembuhan ibuku. Tapi obat itu ternyata susah didapatkan. Meski para orang kaya di seluruh negeri ini berpatungan untuk membeli obat itu, tapi tetap saja obat itu susah diperoleh. Tidak hanya harganya yang sangat mahal, tetapi juga tempat untuk menemukan obat itu sangatlah jauh.
            “Lalu bagaimana dengan ibu? Apa ibu masih bisa disembuhkan?” tanyakan dengan penuh kekhawatiran.
            “Tenang. Ibu pasti akan sehat kembali.”
            “Kapan itu akan terjadi, Rif?”
            “Entah, aku juga belum tahu pastinya. Bahkan sampai aku melaksanakan tugasku yang terakhir saja belum tentu,” jelas temanku yang serba tahu itu.
            “Apa maksudmu?”
            “Sudah, yang penting kamu berdoa saja untuk ibu.”
            Lagi-lagi aku menuruti perkataannya. Dia memang paling bisa memengaruhi pikiranku. Karena itulah aku sangat mengaguminya.
***

            Hingga suatu hari aku dan dia bersama dengan teman-temanku yang lain pergi untuk mencarikan obat ibuku. Ketika aku dan teman-temanku berjalan bersama, tak sengaja aku menyerempet sebuah gerobak milik pedagang kaki lima.
            “Maaf pak, saya tidak sengaja,” kataku meminta maaf sambil memegang tangan pria paruh baya itu.
            “Iya, ndak apa-apa Nak. Kalian mau kemana sepertinya terburu-buru?”
            “Kami ingin mencari obat untuk ibu saya, Pak.”
            “Obat? Ibunya sakit apa?”
            “Saya juga kurang tahu tentang penyakit ibu saya, Pak. Yang penting kami harus dapat obatnya sebelum terlambat.”
            “Ya sudah, kalau begitu Bapak bantu cari, ya. Sebentar Bapak panggil teman-teman Bapak dulu untuk ikut membantu,” kata bapak-bapak itu sambil berlari mencari teman-temannya. Setelah semua teman-temanku dan teman-teman dari pedagang kaki lima itu berkumpul, kami melanjutkan untuk mencari obat ibu. Tak disangka, ternyata tidak hanya para pedagang yang peduli denganku. Banyak warga sekitar daerah itu yang ikut membantuku untuk mencarikan obat ibu.
            “Dit, sepertinya ini adalah tugas terakhirku,” kata Arif secara tiba-tiba.
            Hah? Kamu sudah malas melanjutkan ini semua?”
            “Aku sudah puas dengan semua ini, Dit. Bahkan aku sudah merasa cukup dengan apa yang aku lakukan selama ini bersamamu. Kau lihat sendiri kan? Bahkan semua orang peduli denganmu dan ingin membantumu.”
            “Apa maksudmu?”
            “Sudah. Yang penting nanti ibumu sembuh dan sehat lagi.”
            Bersama dengan suara musik tambur berbahan timah yang menggetarkan dada kami semua, dia berjalan menyeberangi Jembatan Ampera. Terus kupandang tubuh kekarnya itu. Dia pun terjatuh dan tenggelam di tengah perjalanannya.
*selesai*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar