Cerpen Romantis

Sajak untuk Najma
(W. J. Laksono)

Seketika pandanganku terarah ke meja di ujung serambi kantin. Langkahku yang sebelumnya berniat untuk memasuki kantin pun terhenti. Entah mengapa seperti ada magnet yang menarik tatapan mataku. Suatu hal yang membuatku terdiam luluh dan diiringi dengan ingatanku yang mulai mengais kenangan yang tersimpan rapi dalam memori otakku.
Aku melihat dia yang telah mengubah sebagian hidupku. Dalam diamku, aku menemukannya di sela-sela berkas ingatan manisku. Kenangan indah itu masih tersusun rapi di pikiranku. Dialah Najma, wanita telah aku kagumi sejak pertama kali aku bertemu dengannya beberapa tahun lalu saat aku duduk di bangku SMP. Sangat teringat jelas masa-masa dimana aku mulai merasakan sesuatu yang para pujangga menyebutnya dengan istilah jatuh hati.
Memang anak seusia SMP yang merasakan jatuh cinta sering dianggap ‘cinta monyet’. Tapi entah apa yang membuatku tetap bertahan untuk selalu berharap dan mencarinya hingga saat ini. Aku memang tidak pernah berbicara mengenai perasaanku kepada siapapun terutama kepadanya. Satu hal yang paling membuat diriku membisu saat berhadapan dengannya adalah karena aku berasal dari Purworejo, kota kecil di bagian selatan Pulau Jawa dan menjadi perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta, sedangkan dia adalah gadis kota yang berasal dari Karawang. Kita sama-sama mengenyam bangku SMP di Kota Bandung karena mengikuti orang tua kita yang kebetulan bekerja di satu kota.
Aku merasa malu dan tidak percaya diri ketika berbicara di depan teman-temanku waktu itu. Aku memang seorang yang pemalu. Tetapi meskipun aku seperti itu, aku memiliki kegemaran di bidang sastra. Aku sangat mengagumi Chairil Anwar, melalui berbagai karya-karyanya. Adalah puisi berjudul ‘Karawang – Bekasi’ yang sangat aku kagumi dari beliau. Puisi pertama yang aku dengar langsung melalui sebuah penampilan musikalisasi puisi yang aku saksikan di televisi kala aku berusia 7 tahun.
***

Dia sangat istimewa bagiku karena dia berasal dari kota yang menjadi objek puisi Chairil Anwar. Raut wajah yang selalu kulihat berseri itu semakin menambah kesan bahwa dia adalah seberkas cahaya bintang yang Tuhan kirim ke bumi ketika aku memandang jutaan bintang di langit malam saat aku merasa kesepian.
Aku ingat betul saat dulu aku sering ditertawakan teman-temanku ketika aku berbicara di depan kelas karena bicaraku yang sering gugup dan tidak percaya diri. Apalagi jika dia ikut tertawa. Aku menjadi semakin tidak percaya diri. Meski kulihat manis lesung pipinya ketika dia tertawa, tapi aku merasa kehilangan keberanian untuk mendekatinya. Aku terus berusaha untuk menghilangkan sifat pemaluku itu. Berbagai referensi dan metode telah aku pelajari untuk mengubah sifatku. Tapi tidak semudah yang dibayangkan untuk bisa mengubah semua itu. Rasanya diri ini sulit untuk bisa keluar dari belenggu ketidakpercayadirian. Hingga suatu ketika, dia yang telah menjadi bintang di hatiku datang menghampiriku saat aku duduk termenung sendiri di bangku taman sekolah.
“Lintang, sedang apa kamu di sini sendirian?” Kudengar lirih lembut ucapan dari bibirnya yang menggetarkan hatiku dan sempat membuatku terhempas dari lamunanku.
“Aku.. Aku sedang berpikir,” kataku dengan getar di bibir yang tak bisa kukendalikan karena aku tidak percaya bahwa dia yang telah membangunkanku dari renunganku.
Haha.. Berpikir? Apa yang membuatmu berpikir sampai kamu termenung seperti tadi itu?” Katanya sambil tertawa mendengar perkataanku.
“Maaf Najma, aku ada pergi dulu,” entah apa yang menggerakkan tubuhku hingga aku tega meninggalkan dia sendiri di taman. Padahal aku sangat berharap bisa dekat dengannya. Mungkin karena batinku belum siap untuk berada di dekatnya. Aku pun tak kuasa saat melihat tawa yang muncul dari bibirnya ketika dia mendengar aku bicara. Aku semakin kehilangan keberanianku di depannya karena rasa malu dan tidak percaya diri yang sulit berpisah dari diriku.
***

Aku terus mencoba berlatih berbicara tanpa terselimuti oleh rasa gugup di setiap perkataanku. Setiap malam selepas aku mengulang kembali materi pelajaran sekolah. Aku naik atap rumah untuk berlatih berbicara dengan ditemani bintang-bintang. Aku memang sangat menyukai bintang. Sejak kecil aku memang sangat suka melihat bintang. Dan kebetulan aku memiliki nama dari orang tuaku yang memiliki arti sama dengan namanya. Lintang dalam bahasa Jawa artinya bintang, dan Najma dalam bahasa Arab juga berarti bintang.
Aku selalu membayangkan jika suatu saat nanti aku dapat berbicara dengan baik dan lancar serta penuh dengan kepercayadirian. Suatu hari, ketika jam istirahat sekolah aku keluar kelas dan duduk di bangku panjang depan kelas. Dia pun menengok ke arahku dari ujung lorong kelas-kelas berjalan dan mendekatiku.
“Kamu kenapa lagi? Kamu sering banget menyendiri.”
“Aku ndak apa-apa kok,” jawabku lirih.
Ah yang benar? Udah.. cerita aja,” bujuknya.
Aku menghela nafas panjang sebelum berusaha mengeluarkan rangkaian kata untuk menjawab pertanyaannya.
“Aku sebenarnya merasa malu.”
“Malu? Kenapa?”
“Kamu tau sendiri, aku ini orangnya pemalu. Bahkan bicara di depan kelas aku selalu gugup,” jelasku.
Hahaha.. Jadi karena itu?”
Tuh kan, kamu saja menertawakanku.”
“Bukan begitu maksudku, Lintang.. Kamu itu lucu. Dan aku suka orang kaya kamu,” katanya kepadaku.
“Apa yang kamu suka dari aku?” tanyaku penasaran.
“Iya, kamu itu unik. Aku suka dengan keunikanmu itu.”
“Tapi aku tetap merasa malu dan tidak percaya diri saat di depan umum,” kataku dengan sedikit menundukkan kepala.
“Sudah, jangan dipikirkan lagi, Lintang. Kamu itu lebih baik jadi dirimu sendiri. Kamu juga pasti lebih nyaman kalau jadi diri sendiri. Kalau kamu sudah merasa nyaman, kamu akan jadi orang yang percaya diri,” katanya yang berusaha meyakinkanku.
“Baik Najma, aku akan mencoba seperti yang kamu katakan itu. Terima kasih ya..”
Oke, kalau begitu aku pergi dulu ya, tapi kamu harus janji kalau kamu mau seperti itu,” katanya sambil beranjak meninggalkan aku yang masih bertahan di tempat ini.
Entah apa yang seharusnya aku lakukan. Aku merasa lega karena dia ternyata suka dengan sesuatu yang ada padaku yang menurutku sendiri itu mengurangi kepercayaandiriku. Dan di sisi lain aku sudah berniat untuk mengubah semua itu. Aku akan terus berlatih untuk berani dan membuang sifat pemaluku.
***

Hari demi hari aku lewati. Aku terus berlatih untuk percaya diri. Aku juga terus mengembangkan kegemaranku di bidang sastra. Aku mencoba untuk berkarya lewat tarian pena yang berada di tanganku. Melalui tinta yang terurai membentu rangkaian kata di atas kertas, tertulis berbagai sajak sebagai pelampiasan kalbuku.
Aku pun menemukan sesuatu yang baru dalam kegemaranku bersajak. Aku menulis sebuah sajak yang bernama ‘Sandiasma’. Dimana dari rangkaian larik demi lariknya jika disusun huruf awal kalimatnya membentuk sebuah nama. Tentu aku membuat nama indahnya itu sebagai sandiasma ciptaanku. Aku pun berniat untuk memberikan puisiku itu kepadanya. Namun tak pernah kutemui waktu yang tepat untukku dapat menyuratkan sajakku kepadanya.
Selalu saja terhalang oleh rasa tidak percaya diriku yang selalu menjadi batu sandungan untuk sampainya tulisanku kepadanya. Akhirnya aku memutuskan untuk memberikannya pada saat wisuda kelulusan kelas IX nanti.
Hingga saatnya telah tiba, setelah aku melewati beberapa semester di SMP, serta ujian kelulusan telah kutempuh, dan pengumuman kelulusan telah masuk ke indera pendengaran kami. Wisuda purna siswa SMP kita pun akhirnya dilaksanakan. Di hari yang telah kutunggu-tunggu itu aku segera merapikan dan membungkus dengan indah secarik kertas yang berisi uraian kekagumanku padanya. Setelah acara formal wisuda selesai, aku segera mencari Najma untuk memberikan sajak yang telah kusuratkan itu. Aku pun menemukan dia sedang berkumpul bersama teman-temannya. Nampaknya mereka sedang menghabiskan waktu terakhir mereka bersama di SMP. Aku merasa tidak sampai hatiku untuk menganggu kebersamaan terakhir mereka. Lagi-lagi, hal itu menjadi hambatan untuk tersampainya suratku ini.
Sampai waktunya dimana semua telah meninggalkan tempat ini, dan orang tuaku pun mengajakku untuk segera pulang, aku tidak lagi menemukan Najma. Aku memutuskan untuk menyimpan surat ini hingga nanti saatnya telah tiba, aku bertemu dengannya dan aku tak akan ragu-ragu lagi untuk segera memberikannya agar dia tahu isi hatiku.
***

Setelah lulus dari SMP, aku berpisah dengan Najma. Kita tidak lagi satu SMA. Ia melanjutkan sekolahnya Jakarta dan aku tetap di Bandung. Sejak itulah aku sudah tidak lagi melihat Najma. Namun entah mengapa, aku tetap berharap bisa bertemu dengannya kembali dan aku tidak bisa berhenti untuk mengaguminya, meski aku sempat melupakannya selama aku menempuh bangku SMA. Meskipun begitu, aku selalu menyimpan surat itu dalam dompetku. Aku berharap suatu saat dimanapun aku bisa bertemu dengannya, dan aku bisa memberikan surat ini.
Tiga tahun SMA berlalu dan aku melanjutkan kuliah di Jakarta. Aku tidak bisa lepas dari kegemaranku sejak aku kecil. Aku terus menekuni dunia sastra. Karena itulah aku memilih untuk melanjutkan kuliah di jurusan sastra, di kampus ini. Kampus dimana akhirnya aku dipertemukan dengan dia yang selama ini aku kagumi. Kurasa dia juga mahasiswa kampus ini. Pintu kantin kampus ini menjadi saksi saat aku pertama kali melihat kecantikan yang pernah hilang dari hidupku. Dia tidak berubah. Dia masih tetap cantik dan dihiasi lesungan manis di kedua pipinya. Wajah itu masih terukir manis diingatanku bersama puisi Chairil Anwar “Karawang – Bekasi”.
Aku pun teringat dengan sepucuk surat yang berisis sajak untuknya yang selama ini aku simpan rapi dalam dompetku. Aku segera mengeluarkan surat itu dari dompetku. Dan ketika aku ingin mendekatinya, tubuhku terasa terhantam oleh badai sehingga aku tidak sanggup melanjutkan langkahku. Kulihat seorang pria berkulit cerah bertubuh jangkung datang dan duduk di sampingnya. Dari tempatku berdiri kudengar samar-samar kata ‘sayang’ terucap dari bibirnya. Aku tahu dia bukan kakak atau adiknya karena aku tahu bahwa dia anak tunggal.
Seperti terperangkap jaring beracun yang menyelimuti hatiku, tanganku terasa tak berdaya dan tanpa sadar melepas lipatan sajak itu. Bungkusan manis surat itu pun jatuh ke lantai seperti tanpa hambatan yang selama ini aku alami kala aku ingin mendekatinya. Bak sebuah kerikil yang terlempar di tengah lautan, harapan dan impianku terlepas dan hilang. Aku telah menanggalkan asaku di bawah gemerlap bintang-bintang yang selama ini menemani dalam gelap dan sepiku. Aku segera berjalan keluar dan meninggalkan kenangan-kenangan itu.
*selesai*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar